Oleh : Prabowo
Putro Awaludin*
“Merokok
dapat menyebabkan kanker, serangan, jantung, impotensi dan gangguan kehamilan”,
begitulah bunyi sebuah himbauan yang tercantum disetiap bungkus rokok. Himbauan
yang secara tidak langsung tersebut seakan menjadi sesuatu yang munafik. Di dalamnya
yang dijelaskan beberapa sisi negatif merokok dan bahkan dapat mengganggu
kesehatan, justru menjadi produk utama yang mempengaruhi kenaikan ekonomi di
Republik ini. Tidak hanya itu, bahkan dengan adanya rokok justru memberikan
kontribusi, menjalin kerja sama yang lebih kepada lembaga pendidikan. Lantas
apa guna himbauan diatas?.
Berbicara
mengenai rokok, banyak orang yang menganggap bahwa merokok identik dengan
sesuatu yang mengganggu kegiatan sosial. Anggapan tersebut keluar karena mereka
merasa terganggu dengan suasana rokok itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa
resiko perokok pasif lebih besar dibanding resiko kesehatan dari perokok aktif,
terlebih bagi seseorang yang berada di dekat seorang perokok aktif. Asap rokok
yang mengepul dan mengganggu pernafasan seseorang yang berstatus anti
rokok membuat tidak nyaman dengan hal tersebut.
Suasana
tersebut banyak kita jumpai tidak hanya di kegiatan sosial di perkampungan atau
komunitas tertentu, akan tetapi hal tersebut juga banyak kita di area
perkampusan khususnya di lingkup organisasi kampus. Sering kali anggota maupun
pimpinan organisasi itu sendiri memperingatkan kepada anggotanya untuk tidak
merokok di dalam ruangan organisasi. Bahkan karena saking sulitnya
diperingatkan melalui ucapan, banyak dinding ruangan yang bertempelkan tulisan
“No Smoking Area”. Akan tetapi hal tersebut tidak digubris oleh si perokok itu
sendiri, bahkan sebagai solusi akhir supaya “Sama-sama enak”, bagi para perokok
diberikan area atau ruang khusus bagi yang merokok. Namun hasilnya tetap
nihil, tak ada perubahan yang signifikan dengan adanya solusi tersebut. Mengapa
demikian?
Merokok di era
sekarang menurut saya yang bisa dibilang saya juga perokok yang tak terlalu
aktif, adalah suatu media yang justru sangat kental memberikan suasana untuk
menjalin keakraban dan menghangatkan sesuasana dengan kerabat, entah itu teman,
saudara bahkan partner kerja maupun diskusi dalam sebuah organisasi. Hal
itu tebukti ketika berada disebuah perkumpulan atau acara tertutup, rapat
misalnya. Terkadang dalam acara tersebut untuk menghadiri kegiatan tersebut ada
yang bertanya “Metu rokok e gak?”. Nah, dari fakta tersebut dapat kita
simpulkan bahwa sebatang rokok memang sangat dibutuhkan dalam pengondisian
sebuah acara yang bisa menghangatkan suasana.
Namun disisi
lain, berbeda halnya ketika seorang yang bukan perokok dan seseorang yang
sedang menyedot kenikmatan sebatang rokok bertemu di sebuah ruangan yang sama.
Akan timbul sebuah perdebatan agar salah satu dari mereka untuk mengalah, yaitu
antara mematikan rokok atau salah satu mereka harus keluar dari ruangan. Sering
juga dibilang perokok menganggu hak asasi karena merebut hak asasi kenyamanan
mereka yang bukan perokok, akan tetapi ketika mereka yang bukan seorang perokok
memarahi kita (smoker) atau bahkan mereka meminta agar si perokok keluar dari
ruangan ketika keduanya berada dalam satu ruangan, bukankah hal tersebut juga
bisa dikatakan merebut hak asasi si perokok, mengganggu kenikmatan seorang
perokok? mengapa tidak mereka saja yang keluar dari ruangan jika mereka yang
merasa terganggu?.
Mewujudkan
kampus tanpa asap rokok memanglah tidak mudah, merokok memanglah suatu
kenikmatan tersendiri bagi seorang mahasiswa. Mahasiswa yang identik dengan
perkumpulan, komunitas, diskusi tidak bisa lepas dari rokok. Meskipun mereka
tahu merokok akan merugikan bagi kesehatan mereka, tetapi rokok juga menjalin
keakraban mereka dengan sesama teman komunitas untuk tetap berkumpul.
Lingkup
perkampusan adalah tempat umum, fasilitas umum yang dapat digunakan oleh
siapapun tanpa terkecuali termasuk siapa pun yang menyandang status
perokok maupun tidak. Jadi dari pernyatan tersebut, seseorang tidak mempunyai
hak untuk melarang siapapun untuk merokok atau tidak, karena itu sama saja
mereka mengambil hak asasi si perokok dan mereka termasuk egois. Nah, tinggal
disini apa alasan mereka mengatur atau
melarang merokok di area perkampusan?. Mungkin selain permasalahan
karena merokok dapat mengganggu kenyamanan khalayak umum khususnya untuk
kesehatan, tapi juga kebiasaan si perokok itu sendiri yang cenderung membuang
putung rokok sembarangan. Kebiasaan itulah yang menjadi alasan mengapa area
perkampusan mencanangkan program kampus bebas asap rokok. Tujuannya adalah agar
kampus terlihat bersih, nyaman dan sejuk tanpa adanya putung rokok yang
bertebaran dimana-mana. Bukan untuk melarang maupun mengatur agar tidak merokok
atau merokoklah pada tempatnya.
Sering banyak
mahasiswa yang salah persepsi menanggapi hal tersebut, padahal kita sendiri
sebagai perokok agar bisa mawas diri dan berpikir mangapa kampus harus bebas
asap rokok. Selain itu si perokok sendiri juga harus memperhatikan suasana
lingkungan sekitar, bagaimana teman sekitar dan apa yang harus dilakukan
sebelum merokok agar tidak menggagu mereka yang tidak suka rokok. Mencari
tempat tersendiri misalnya atau berkumpul dengan komunitas perokok sejenak
bibir sudah mulai pahit akan rokok. Dan poinnya yang terpenting jangan membuang
putung rokok sembarangan, buanglah putung rokok pada tempatnya atau pada tempat
sampah yang sudah disediakan. Kebiasaan tersebut saya kira menjadi alternatif
agar keduanya antara si perokok dan
bukan perokok dapat merasakan kenyamanan, lingkungan pun juga ikut
terjaga.
Bagi lingkup
perkampusan yang memberlakukan kampus bebas rokok juga harus dimulai dengan
perlahan-lahan. Pemberlakuan peraturan yang ekstrem dan tiba-tiba akan membuat
para mahasiswa merasa terkekang dan kaget, bahkan akan menimbulkan permasalahan
baru bagi mereka yang belum siap mengikuti peraturan tersebut. Di awali dari
pihak lembaga tertinggi atau pimpinan Universitas itu sendiri yang nantinya
bisa dicontoh oleh para mahasiswa lainya agar bisa mengikuti peraturan
tersebut. Tidak mungkin seorang mahasiswa akan mentaati sebuah peraturan yang
diberlakukan di kampus apabila para petinggi kampus pun juga belum bisa
melaksanakannya.
Solusi lain,
merokok yang dapat menyebabkan polusi udara juga harus diimbangi dengan kondisi
alam yang mendukung. Hijau – hijauan sekitar kampus juga perlu dirawat dan
dijaga agar tetap memberikan suasana yang sejuk dan segar. Dan di situ lah
letak peran salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA)
sebagai mahasiswa yang selalu turut melestarikan lingkungan.
Merokok itu hak
asasi manusia yang tidak boleh diganggu selagi tidak merusak lingkungan
sekitar.
*) Penulis
seorang Mahasiswa STAIN Salatiga Fakultas tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa
Inggris ’09 dan Sekretaris Umum LPM
DinamikA periode 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar