Jumat, 12 Oktober 2012

Merokok Juga Sebagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)



Oleh : Prabowo Putro Awaludin*
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan, jantung, impotensi dan gangguan kehamilan”, begitulah bunyi sebuah himbauan yang tercantum disetiap bungkus rokok. Himbauan yang secara tidak langsung tersebut seakan menjadi sesuatu yang munafik. Di dalamnya yang dijelaskan beberapa sisi negatif merokok dan bahkan dapat mengganggu kesehatan, justru menjadi produk utama yang mempengaruhi kenaikan ekonomi di Republik ini. Tidak hanya itu, bahkan dengan adanya rokok justru memberikan kontribusi, menjalin kerja sama yang lebih kepada lembaga pendidikan. Lantas apa guna himbauan diatas?.
Berbicara mengenai rokok, banyak orang yang menganggap bahwa merokok identik dengan sesuatu yang mengganggu kegiatan sosial. Anggapan tersebut keluar karena mereka merasa terganggu dengan suasana rokok itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa resiko perokok pasif lebih besar dibanding resiko kesehatan dari perokok aktif, terlebih bagi seseorang yang berada di dekat seorang perokok aktif. Asap rokok yang mengepul dan mengganggu pernafasan seseorang yang berstatus anti rokok membuat tidak nyaman dengan hal tersebut.
Suasana tersebut banyak kita jumpai tidak hanya di kegiatan sosial di perkampungan atau komunitas tertentu, akan tetapi hal tersebut juga banyak kita di area perkampusan khususnya di lingkup organisasi kampus. Sering kali anggota maupun pimpinan organisasi itu sendiri memperingatkan kepada anggotanya untuk tidak merokok di dalam ruangan organisasi. Bahkan karena saking sulitnya diperingatkan melalui ucapan, banyak dinding ruangan yang bertempelkan tulisan “No Smoking Area”. Akan tetapi hal tersebut tidak digubris oleh si perokok itu sendiri, bahkan sebagai solusi akhir supaya “Sama-sama enak”, bagi para perokok diberikan area atau ruang khusus bagi yang merokok. Namun hasilnya tetap nihil, tak ada perubahan yang signifikan dengan adanya solusi tersebut. Mengapa demikian?
Merokok di era sekarang menurut saya yang bisa dibilang saya juga perokok yang tak terlalu aktif, adalah suatu media yang justru sangat kental memberikan suasana untuk menjalin keakraban dan menghangatkan sesuasana dengan kerabat, entah itu teman, saudara bahkan partner kerja maupun diskusi dalam sebuah organisasi. Hal itu tebukti ketika berada disebuah perkumpulan atau acara tertutup, rapat misalnya. Terkadang dalam acara tersebut untuk menghadiri kegiatan tersebut ada yang bertanya “Metu rokok e gak?”. Nah, dari fakta tersebut dapat kita simpulkan bahwa sebatang rokok memang sangat dibutuhkan dalam pengondisian sebuah acara yang bisa menghangatkan suasana.
Namun disisi lain, berbeda halnya ketika seorang yang bukan perokok dan seseorang yang sedang menyedot kenikmatan sebatang rokok bertemu di sebuah ruangan yang sama. Akan timbul sebuah perdebatan agar salah satu dari mereka untuk mengalah, yaitu antara mematikan rokok atau salah satu mereka harus keluar dari ruangan. Sering juga dibilang perokok menganggu hak asasi karena merebut hak asasi kenyamanan mereka yang bukan perokok, akan tetapi ketika mereka yang bukan seorang perokok memarahi kita (smoker) atau bahkan mereka meminta agar si perokok keluar dari ruangan ketika keduanya berada dalam satu ruangan, bukankah hal tersebut juga bisa dikatakan merebut hak asasi si perokok, mengganggu kenikmatan seorang perokok? mengapa tidak mereka saja yang keluar dari ruangan jika mereka yang merasa terganggu?.
Mewujudkan kampus tanpa asap rokok memanglah tidak mudah, merokok memanglah suatu kenikmatan tersendiri bagi seorang mahasiswa. Mahasiswa yang identik dengan perkumpulan, komunitas, diskusi tidak bisa lepas dari rokok. Meskipun mereka tahu merokok akan merugikan bagi kesehatan mereka, tetapi rokok juga menjalin keakraban mereka dengan sesama teman komunitas untuk tetap berkumpul.
Lingkup perkampusan adalah tempat umum, fasilitas umum yang dapat digunakan oleh siapapun tanpa terkecuali termasuk siapa pun yang menyandang status perokok maupun tidak. Jadi dari pernyatan tersebut, seseorang tidak mempunyai hak untuk melarang siapapun untuk merokok atau tidak, karena itu sama saja mereka mengambil hak asasi si perokok dan mereka termasuk egois. Nah, tinggal disini  apa alasan mereka mengatur atau melarang merokok di area perkampusan?. Mungkin selain permasalahan karena merokok dapat mengganggu kenyamanan khalayak umum khususnya untuk kesehatan, tapi juga kebiasaan si perokok itu sendiri yang cenderung membuang putung rokok sembarangan. Kebiasaan itulah yang menjadi alasan mengapa area perkampusan mencanangkan program kampus bebas asap rokok. Tujuannya adalah agar kampus terlihat bersih, nyaman dan sejuk tanpa adanya putung rokok yang bertebaran dimana-mana. Bukan untuk melarang maupun mengatur agar tidak merokok atau merokoklah pada tempatnya.
Sering banyak mahasiswa yang salah persepsi menanggapi hal tersebut, padahal kita sendiri sebagai perokok agar bisa mawas diri dan berpikir mangapa kampus harus bebas asap rokok. Selain itu si perokok sendiri juga harus memperhatikan suasana lingkungan sekitar, bagaimana teman sekitar dan apa yang harus dilakukan sebelum merokok agar tidak menggagu mereka yang tidak suka rokok. Mencari tempat tersendiri misalnya atau berkumpul dengan komunitas perokok sejenak bibir sudah mulai pahit akan rokok. Dan poinnya yang terpenting jangan membuang putung rokok sembarangan, buanglah putung rokok pada tempatnya atau pada tempat sampah yang sudah disediakan. Kebiasaan tersebut saya kira menjadi alternatif agar keduanya antara si perokok dan  bukan perokok dapat merasakan kenyamanan, lingkungan pun juga ikut terjaga.
Bagi lingkup perkampusan yang memberlakukan kampus bebas rokok juga harus dimulai dengan perlahan-lahan. Pemberlakuan peraturan yang ekstrem dan tiba-tiba akan membuat para mahasiswa merasa terkekang dan kaget, bahkan akan menimbulkan permasalahan baru bagi mereka yang belum siap mengikuti peraturan tersebut. Di awali dari pihak lembaga tertinggi atau pimpinan Universitas itu sendiri yang nantinya bisa dicontoh oleh para mahasiswa lainya agar bisa mengikuti peraturan tersebut. Tidak mungkin seorang mahasiswa akan mentaati sebuah peraturan yang diberlakukan di kampus apabila para petinggi kampus pun juga belum bisa melaksanakannya.
Solusi lain, merokok yang dapat menyebabkan polusi udara juga harus diimbangi dengan kondisi alam yang mendukung. Hijau – hijauan sekitar kampus juga perlu dirawat dan dijaga agar tetap memberikan suasana yang sejuk dan segar. Dan di situ lah letak peran salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) sebagai mahasiswa yang selalu turut melestarikan lingkungan.
Merokok itu hak asasi manusia yang tidak boleh diganggu selagi tidak merusak lingkungan sekitar.



*) Penulis seorang Mahasiswa STAIN Salatiga Fakultas tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris ’09  dan Sekretaris Umum LPM DinamikA periode 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar