Bill Kovach dan
Tom Rosentiels menstandarkan perilaku wartwan pada 9 eleman jurnalisme. Ke –9
elemen ini adalah basic sebuah jurnalisme. Dengan begitu perilaku wartawan
seharuenya tidak jauh – jauh dari ke – 9 eleman ini. 9 elemen jurnalisme adaalh
satu. Artinya ke – 9 elemen ini tidak bias dipisahkan satu sama lain.semuanya
mempunyai kedudukan yang sama, tidak bias hanya salah satu saja yang dipatuhi
oleh wartawan.kesembilan eleman ini adalah :
- kewajiban utama jurnalisme adal;ah pencarian kebenaran.
Kebenaran
adalah suatu hal yang masih bias pengertiannya, defimisinya masih berbeda –
beda sesuai dengan bidangnya. Misalnya untuk kebenaran yang dibahas dalam
bidang filsafat akan berbeda dengan kebenaran yang dibahsa dalam bidang agama ,
science,atau yang lainnya. Tapi sebagai wartwan kita harus selalu menjunjung
kebenaran. Dalam hal ini kebenaran secara fungsional yang tentunya sesuaio
dengan tugasnya seorang wartawan.
Kasus
Jawa Pos ini membuktikan bahwa tidak setiapp wartwan menjunjung factor
kebenaran dalam liputannya. Hal ini tentu saja akan merugikan banyak pihak,
terutama publik yang mnejadi korban dari
pemberitaan itu. Belum lagi perusahaan yang menjadi kehilangan harga diri
sebagai meria yang seharusnya menyamapaikan kebenaran.
Yang
dilakuakan oleh watawan yang berinisial Bf ini adalah menulis berita fiktif.
Padahal kebenaran dalam jurnalisme sangat ssakral maknanya. Bahkan lebih sacral
raei sebuah pernikahan. Wartawan bertanggung jawab pada publik atas kebenaran
yang disampaikannya. Jadi apapun yang terjdi kebenaran adalah hal yang utam
yang harus disampaikan oleh wartawan.
Memang
untuk mendapatkan sebuah kebenaran , memerlukan proses yang panjang. Tapi
itulah yang harus dilakuakan oleh wartwan sebagai resiko pekerjaan.wartawan
dalam mencari kebenaran , benar – benar dituntut untuk bekerja keras. Medan
yang terjal tak jarang di temui oleh wartawn dalam proses peliputan. Misalnya
untuk melaporkan sebuah kejadian seperi pemoman di sebuah tempat. Kita
memerlukan beberapa nara sumber yang terkait, misalnya otak pemboman itu siapa,
polisi, pemerintahan, dan selain itujuga kiata harus tahu bagaimnna alur cerita
dari pemboman itu dari para saksi mata.
Semua itu harus dilewati oleh sang peliput untuk mendapatkan berita yang
factual.
Biasanya
dalam peliputan ini yang paling susah ditembus adalah nara sumber yang tentunya
bukan narasumber ecek – ecek. Seorang otak pemboman , tidak mungkin dengan
mudah memberikan keterangan tentang kejadian tersebut. Perlu keterampilan –
keterampilan khusus wartawan dalam melakukan hal itu . namun, bagaimanapun wartwan harus
bertangguing jawab atas berita yng dieampaikannya yang tentunya harus mutlak
benar. Dengan begitu kita ketahui kenapa elemen pertama dari jurnalisme adalah
sebuah kebenaran.
Dengan
melakukan tugas – tugas kewartawanan seperti peliputan, wawancara dengan nara
sumber, memberitakan fakta,dll. Sebenarnya sebagai wartawan kita tentunya sudah
menghindari kebohongan pada publik.
Namun
biasanya, dalam pencarian kebenaran wartawan terhadang masalah dari perusahaan
dimana mereka bekerja. Terlalu banyak tekanan yang apalagi sekarang bisnis
media sangat berkembang denagan pesat. Tentunya hal ini menimbulkan persaingan
yang sangat ketat dari perusahaan perusahaan
media tersebut. Wazrtawan dituntut untuk menghasilkan berita yang sensasional
yang beda dari yang lainnya. Untuk itu
terkdang prinip kebenaran yang sangat sacral itu, terbengkalai dengan
kepentingan perusahaan. Padahal seperti yang diungkap oleh Bill kovagh dalam
buku 9 Elemen Jurnalisme adalah :
- loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
Jadi
sebagai wartwan seharusnya bertanya pada diri sendiri, kepada siapakah kita
akan loyal? Pada pembaga atau pada perusahaan?. Jika dilihat dari elemen yang
kedua ini jelasa bahwa loyalitas wartwan seharusny berujung pada publik,
sebagai pembaca dari apa yang kita beritakan.
Seharusnya dalam proses
pemberitaan dari mulai mencari berita, nara sumber,waratwan tidak dipengaruhi
oleh apapun selain oleh semangat kebenran dan loyalitas pada publik. Soal
perusahaan yang mencari keuntungan itu seharusnya buikan bagian dari apa yang
haruys dipikrkan oleh wartawan dalam memberitakan sesuatu. Yang harus selalu
diingat adalah bagaimana membuat suatu berit yang menarik bagi pembaca yang
menjunjung kebenaran, dan bagaiman bertanggung jawab pada publik jika berita
yang dibuat hanya fiktif padahal sudah jelas yang akan membaca suatu media
bukan hanya sekelompokorang, tapi semua orang di bangsa ini bahkan di seluruh
dunia. Sesuat yang sangat berat yang harus diloakukan wartawan. Belum lagi
harus bertanggung jawab terhadap nara sumber yang meras dirugikan atas
pemberitaan tersebut, mungkin karena tidak pernah memberi keterangan seperti
yang diberitakan oleh wartwan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh watwan Jawa Pos yang mengaku
mewawancarai dengan Wan Nooraini Jusoh,
istri dari almarhum doctor Azahari . dalam kenyataannya Wan Nooraini Jusoh
menderita kanker tenggorokan yang tentunya jelas tidak bias berbicara. Belum
lagi dengan wartwan lainnya yang tidak bias mewawancarai istri Doktor Azahari
ini, jadi jelas hal ini hanya hasil kretifitas imagi dari wartwan Jawa pos.
Mungkin awal dari
pemberitaan yang dilakukan oleh Jawa Pos adalah untuk menaikkan citra
perusahaan, yang mungkin ingin mendapatkan keuntungan. Walaupun pada akhirnya
pihak jawa Pos mengklarifikasi berita tersebut dengan dalih hal ini tidak hany
terjadi saat ini saja, dan pernah terjadi pada media lain. Sengguh suatu hal
yang aneh, padahal untuk mendapatkan sebuah keuntungan perusahaan media tidak harus
melakukan hal tersebut. Hal ini dicontohkan pada kasus sebagai berikut :
Pada 1893
seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa
penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang
kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius,
mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality,
without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”
Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Dari contoh dua
kasus tersebut terlihat jelas mana yang
menguntungkan. Media yang jujur, yang lebih memntingkan kepentinagn
publik lebih menguntungkan perusahaan tersebut.tak hanya soal prestisius, tapi
soal financial juga menjadi lebih baik.kepergayaan yang diberikan publik pada
media jangan sampai hilang akibat satu berita bohong dari oknum wartwan.
Seperti yang terjadi pada Jawa Pos, mengkin sekarang kita akan lebih berhati –
hati memilih media mana yang dapat memberikan kebenaran terhadap suatu kasus.
Bagi pembaca Jawa Pos, kredibiltasnya sekarang diragukan. Lucu, jika berita
yang dibuat di sebuah media bohong.
Padahal untuk memberikan suatu beruta yang benar – benar
terjadi, tidak terlalu sulit. Hanya langjkah -langkah sederhan yang harus
dilakukan oleh wartawan seperti , liputan, penelusuran sumber berita, wawancara
, memilih sumber yang kompeten terhdapakasus yang diangkat. Langkah - langkah sederhana itu tentunya akan
menghindarkan kita dari kebohongan publik. Kita sebagai wartawan dan media
seharusnya menyadari arti dari peribahasa akibat nila setitik rusak susu
sebelanga. Akibat satu kesalahan tercemarlah nama baik perusahaan.
3. esensi jurnalisme
adalah disiplin verifikasi.
Disiplin mampu membuat wartawan menyaring
desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi
yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan
hiburan, propaganda, fiksi atau seni.tentunya dalm pencarian sumber berita,
wartwan harus benar – bebar melakukan verifikasi yang benar. Dengan adanya
disiplin verifikasi yang dilakukan wartawan fiktifisasi narasumber tudak akan
terjadi. Batas antara fiksi dan jurnalisme harus jelas, jurnalisme tidak bisa
digabungkan dengan fiksi. Semuanya harus fakta dan nyata.
Namun masalah yang hadir disini adalah
standar verifikasi itu sendiri. Karena jika dipikirkan lebuih jauh, verifikasi
itu bersifat personal.bahkan Kovach dan Rosentiels juga mengakui hal
tersebut.keobjektiffan sebuha berita biasnya sering dikaitkan dengan didiplin
verifikasi itu sendiri. Padahal, mungkin saja wartwan tidak bisa objektif
meskipun harus.kita lihat dari sisi manusiawinya tentang latarbelakng wartwan
tersebut yang berbeda – beda. Olehkarena itu, wartwan dulu tidak mengenal
objektifita, tetapi lebih condong pada reslisme.
Dalam memilih narasumebr pun terkadang
wartawan memilih secara subjektif.misalnya dalam berita kebakaran di sebuah pemukiman wartwan satu memilih
tukang gorengan dsi daerah itu untuk diwawancarai sebgai sakasi mata, wartawan
lainnya memilih ibu rumah tangga untuk diwawancarai. Sebeanrnya hal itu sah,
boleh dilkuakan oleh wartawan asal tidak keluar dari jalur pemberitaan. Hal ini
menunjukkan sebuah kesubjektifan seorang wartwan. Jika ide realisme bisa
diterapkan kenapa ide objektifitas tidak.sebenarnya metode jurnalisme bisa
objektif . taspi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin
dalam melakukan verifikasi.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep
dalam verifikasi:
-Jangan menambah atau mengarang apa pun;
-Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
-Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
-Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
-Bersikaplah rendah hati.
metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis..Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga,. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.
Metode keempat, pengecekan fakta. Metode ini sederhana., memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-faktadalam tulisannya, baris per baris, kalimat per kalimat
-Jangan menambah atau mengarang apa pun;
-Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
-Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
-Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
-Bersikaplah rendah hati.
metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis..Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”
- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga,. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.
Metode keempat, pengecekan fakta. Metode ini sederhana., memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-faktadalam tulisannya, baris per baris, kalimat per kalimat
4. jurnalis harus
menjagas indepedensi dari objek liputanya.
Ada yang menyatakan bahwa seorang wartawan adalah mahluk
asosial. Namun bukan anti sosial. Artinya dalam hal ini wartwan beanr – benara
harus independen, melakukan suatu peliputan dengan objektif. Tidak terpengaruh
pada apapun, kepentingan siapapun kecuali kepentingan bahwa kita adalh wartwan
yang harus menyampaikan beriyta yang benar – benar terjadi untuk disempaikan
pada masyarakat. Tidak peduli siapapun apapu. Bahkan jika itu menyangkut
keluarga kita, dan kita harus memberitakannya jangan anggap itu keluarga.
Wartwan harus bertanggung jawab pada publik itu penting dan harus selslu kita
ingat.
Dalam pencarian nara sumberpun kita harus seperti
itui,tidak boleh terpengaruh oleh apapun. Wartawan harus selalu ingat bahwa
narasumber yang akan kita wawancarai yang akan memberikan keterangan yang
penting yang akan membuat orang lain lebih tahu tentang hal yang sedang
diberitakan.
Wartawn harus bersikap independen terhadap objek yang
diliput.jsaadi semangat indepandensi harus dijunjung tiunggi oleh setiap
wartawan. Untuk menghindari kefiktifan narasumber saharusnya wartwan yang
menuliskan berita itu disebutkan, agar lebih bisa dimintai
pertanggungjawabannya terhadap publik. Dengan menjunjung kebenaran seperti
inilah yang membedakan wartwaan dengan juru penerangan.kita sebagai wartawan
harus punya ciri khas dari profesi lainnya. Intinya independensi wartawan itu
membedakan profesi wartwan dengan yang lainnya.
5. jurnalis harus
membuat dirinya sebagai pemantau
independen dari kekuasaan..
biasanya persoalan kekuasaan sangat mempengaruhi banyak
kalangan termasuk wartawan. Namun dalam memantau kekuasaan , bukan berarti
wartawan menghancurkan kekuasaan.namun tugasnya wartawan sebagai pemantau
kekuasaan yaitu turut seta dalam penegakkan demokrasi.
Salah satu dalam cara memantau ini adalah melakukan
investigatif reporting. Inilah yang asering menjadi masalah antar wartawqn
dengan penguasa. Biasanya banyak penguasa yang enggan pdivasi tentang dirinya
dipublikasikan. Namun hal itulah yang harus diketahui oleh rakyat.kita
mempunyai banyka kasus korupsi pejabat. Masyarakat harus tahu, dan inilah tugas
wartwan. Penguasa juga terkadang mempengaruhi kebijkan media dalam melakukan
pemberitaan, apalgi yang bersifat investigasi.
Dalam melakukan investigasi terhadap sebuah kasus ,
seharusnya media melakukan dengan hati – hati.apalagi sebuah investigasi. Tak
seperti laporan biasanya, penelusuran narasumber benar – benar harus teliti dan
apik. Wawancara dengan pihak yang terkait pun tak bisa jika hanya sebuah
hayalan.
6. jurnalis harus
memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi.
Seorang wartwan bukan seorang dewa yang selamnya benar
tatua menyampaikan kebenaran, meskipun hal itu kewajiban. Seorang wartwan yang
bertanggung jawab pda publik, juga harus mendengarkan apa keinginan publik itu
sendiri. Wartawan harus terbuka pada publik untuk mendengarkan segala
sesuatunya.logikanya setiap orang boleh berpendapat dan memiliki rasa ingintahu
yang sama. Jadi jika ada anggota publik yang ingn lebih mengatahui dalam sebuah
kasus bisa menanyakannya.sekarang ini di setiap media cetak disediakan ruang
publik seperti surat pembaca. Atau di media elektronik, terdapat alamat fax
atau nomor yang disediakan untuk menanggapi atau memberikan komentar.
7. jurnalis harus
berusaha membuiat hal yang penting menjdi menarik dan relevan
berita yang dibuat oleh wartawan jangan samapai
membosankkan bagi pembaca. Jangan sampai berita yang penting jadai tidak
penting karena pembacca bosan. Wartwan juga haeus tahu tentang komposisi,
tentang etika, tentang naik turunnya emosi pembaca dan sebagainya. Seperti yang
dilakukanTempo, mereka selalu mengemas berita dengan sangat rapis sehingga
tidak bosan dalam membacanya.
Menulis narasi
yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana
laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah
bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Berita itu tidak
bias membosankan. Dan harus memikat tetapi tetap relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru
sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap
laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi
laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
8. jurnalis harus
membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
Untuk
membuat berita yang komprehensive dan proposional, seorang wartwan tak hanya
harus melaporkan laporan yang ecek – ecek. Perliu banyak hal yang dilkaukan
untuk mendapatkan berita yang seperti ini. Wqartawan tidak hanya menerima fakta
yang mudah diraih. Harus ada sesuatu yang menantang dari pekerjaan wartawan
pelaoran ivestigasi mewakili berita yang komprehensif dan proposional ini.
Kovach dan Rosentiels mengkategorikan wartawn seprtiini
sebagai wartwan yang amalas dan bodoh. Wartwan harus tahu bagaimana caranya
mel;aporkan suatu hal yang bermutu. Olehkarena itu, wartwaan pembohong seperti
Bf harus dikategorikan wartwan macam apa?
Berita yang komprehensif bukan berita yang hanya punya
judul sensasional.seperti berita yang dimuat di Jawa Pos tentang wawancara
dengan istri Doktor azhari yang fiktif itu, yang berlabel eksludif.tidak ada
balancing dari berita tersebut. Berita sensasional seperti itu hasnya akan
memalukan wartwan dan media yang menerbitkannya.
9. jurnalis harue
diperbolehkan untuk mendengarkan hati nurani pribadinya.
Segala sesuatu yang berasal dari hati nurani akan lebih
abik dari apapun. Dari persoalan yang terjadi didalam kehidupan wartawan
jawabnnya adalah bersumber pada hati nurani.wartwan yang berbohong, melakukan
fiktifissasi narasumber atau apaun kejahilan seorang wartawan benar – benra
harus bersumber pada hati nurani. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan, seorang wartawan harus mendasarkan segala sesuatunya pada hatiu
nurani.
Setiap individu
reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan
berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill
Kurtis dari A&E Network. Menjalankan prinsip itu tak mudah karena
membutuhkan suasana kerja yang aman dan nyaman , yang bebas dimana stiap orang
bias berpendapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar