Minggu, 23 September 2012

HAK ASASI MANUSIA ISLAM; TEOLOGI TOLERANSI BERAGAMA



Oleh: Prabowo Putro
Abstract
Human right (HAM) are proprietary rights human because they are human. Each man have rights basic and not an even may belie its human right no decision sentences that fair. According to islam, the difference among one individual with other individual is not because rights it as human as, but gone upon by faith and fear. Mark sense that constitute herculean basic and can't be disowned have given contribution on formative human right principle in international society.
Key Word : Human, Individual, Faith And Fear, Contribution

Pendahuluan
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Setiap manusia mempunyai hak asasi dan tidak seorang pun boleh diingkari hak asasi manusianya tanpa keputusan hukum yang adil. Hanya dalam keadaan yang terbatas dan tertentu saja (seperti diduga kuat melakukan kejahatan atau adanya keharusan Negara dalam keadaan perang) seseorang bisa dicabut hak asasinya. Konsepsi hak asasi manusia membuat perbedaan stastus, seperti ras, gender, dan agama tidak relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya.
Masyarakat yang berdasarkan hak asasi manusia memberikan kesempatan keanggotaan sosial, yang mustahil  dalam komunitas-komunitas terikat status yang menolak hak asasi manusia. Hak asasi manusia tidak mensyaratkan direduksinya  semua anggota kelompok sosial tertentu menjadi individu-individu yang teratomisasi. Identifikasi kelompok adalah bagian yang teramat sangat penting dari karakter psikologis manusia. Kegiatan-kegiatan ritual, dukungan sosial, dan perasaan menjadi bagian yang diberikan oleh kelompok etnis-agama kepada anggota-anggotanya adalah imbangan penting bagi anomi sosial yang sekarang terjadi di masyarakat-masyarakat Barat atau yang diibaratkan. Tapi ketika kohesi kelompok didasarkan pada sistem internal kategorisasi dan degradasi yang kejam, keanggotaan sosial dan hak asasi manusia menjadi tidak sesuai. Suatu budaya dan komunitas yang yang didasarkan pada degradasi sistematis harus ditentang; kalau hak-hak individu mengancam masyarakat seperti itu, maka demikian pula yang terjadi di masyarakat yang lebih baik. Hak asasi manusia kadang-kadang memerlukan pemutusan budaya.
Tetapi hak asasi manusia bisa dimasukkan kedalam suatu kesatuan kolektif tanpa menghancurkan kelompok yang bersangkutan. Misalnya, kaum feminis beragam Yahudi dan Katolik Roma yang memperjuangkan kesetaraan laki-laki di dalam agamanya masing-masing melakukannya dengan sedemikian tepat karena mereka menghargai keanggotaan kelompok mereka.  Kalau tidak demikian, mereka dengan mudah bisa saja meninggalkan sinagoga atau gereja dengan mudah, beralih agama yang lebih egaliter, atau menjadi atheis. Bagi para feminis ini, tidak hanya identitas sosial mereka, jalin-menjalin dengan komunitas ibadah. Memberikan kesetaraan kepada kaum perempuan berarti megubah banyak adat dalam suatu kelompok, tetapi bukan berarti kelompok yang bersangkutan akan hancur. Cabang-cabang tertentu Yudaisme sekarang memberikan hak yang setara kepada kaum perempuan, demikian pula cabang-cabang tertentu Kristen Protestan; faktanya, perempuan yang berpartisipasi aktif dalam cabang-cabang komunitas agama mereka memberikan sumbangan bagi vitalitas agama yang besangkutan dam masyarakat sekuler yang berisi kekuatan-kekuatan sosial yang menggerogoti agama.
Standar hak asasi manusia internasional telah ditetapkan sejak tahun 1948 dalam Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Universal Declaration of Human Right) yang dikodifikasikan pada tahun 1966 dalam Kesepakatan Internasional Hak Sipil dan Politik (Internatioanal Covenant on Civil and Political Right) serta Kesepakatan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Right).1
Hak asasi manusia dalam kesepakatan 1966 dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu : hak sipil dan politik di satu sisi dan hak ekonomi, sosial, dan budaya di sisi lain.  Hak sipil dan politik mencangkup semua hak yang melindungi individu terhadap pelanggaran keamanan  fisik dan eksekusi sewenang-wenang, penyiksaan, dan perlakuan atau hukuma yang kejam, merendahkan atau tidak manusiawi. Hak sipil dan politik juga melindungi warga Negara terhadap penganiayaan oleh pejabat Negara melalui pengakuan di depan hukum, prasangka tak bersalah, jaminan pengadilan terbuka yang adil  dan tidak memihak, pelanggaran undang-undang yang berlaku surut kebelakang, dan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan secara sewenang-wenang atau pembuangan ke luar negeri. Hak atas kewarganegaraan dan memiliki rumah di suatu Negara juga dilindungi atas kebangsaan, kebebasan bergerak, dan memilih tempat tinggal.
Pembahasan
Konsepsi yang tertuliskan dalam deklarasi semesta mencerminkan pemikiran modern mengenai hakikat keadilan. Hak asasi manusia telah dipisahkan dari kaitan aslinya dengan hak “alamiah” yang diberikan oleh Tuhan.
Gagasan bahwa hak asasi manusia dianugerahkan oleh Tuhan masih menarik bagi banyak pengikut agama, dan sebagian penyeru hak asasi manusia masih tetap berusaha untuk lebih mendasarkan keyakinannya pada agama dibandingkan pada pandangan sekuler. Pendekatan ini dianut oleh seorang Muslim ahli hukum, Abdullahi Ahmed An-Nai’im, yang berupaya mempertemukan norma-norma hak asasi manusia dengan asas-asas islam. An-Na’im berpendapat bahwa semua tradisi budaya-keagamaan, termasuk islam, menganut prinsip Aturan Emas (Golden Rule), yakni “sebuah prinsip yang mengatakkan bahwa siapapun harus memperlakukan orang lain seperti dia mengharapkan orang lain memperlakukan dirinya.” Semua agama bisa menggunakan asas ini untuk menggalakan hak asasi manusia universal.2
An-Na’im juga mengemukakan bahwa semua tradisi agama melindungi esensi konsensus dunia tentang hak asasi manusia. Saya tidak setuju pendapat ini. Hak asasi manusia adalah masalah sekuler : hak ini berasal dari pemikiran manusia tetntang hakikat keadilan, bukan dari keputusan illahi. Meskipun hak asasi manusia adalah prakteknya akan lebih terjamin jika didasarkan pada keyakinan agama, dasar keagamaan itu tidak mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat universal dalam arti harus universal, tanpa memandang apakah agama-agama besar menerimanya sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan pada agama, melainkan pada masyarakat sekuler tentang hak yang diperlukan semua orang untuk bermartabat.
Perkembangan pemikiran HAM dalam 4 generasi
Pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencari rumusan HAM yang sesuai konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi menjadi 4 generasi.
1)      Generasi Pertama
Berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Disebabkan karena dampak dan situasi perang dunia ke II, totaliterisme dan adanya keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu yang tertib hukum yang baru. Akan tetapi seperangkat hukum yang disepakati tersebut sebagai syarat hak-hak yuridis seperti, hak untuk hidup, untuk tidak menjadi budak, tidak disiksa dan ditahan, hak-hak kesamaan dalam hukum, hak akan fair trial, praduga tak bersalah dan sebagainya. Hal itu bukan berarti hak-hak lain tidak diatur karena sesungguhnya seperangkat hukum itu juga memuat akan hak nasionalitas, pemilikan, pemikiran agama, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan budaya. Namun demikian sukar untuk menghindarkan kesan bahwa hukum itu dikuasai oleh hak-hak hukum. Kesan ini semakin tak terbantahkan jika kita meihat kovenan yang dilahirkan kembali seperti “Convention on Prevention and Punishment Of The Crime of Genocide”.
Nampaknya pandangan ini sebagai reaksi keras terhadap kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasis yang mewarnai tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke II. Karena itu pemikiran begitu menonjol ke permukaan dan sekaligus menjadi karakteristik konsep dasar hak asasi menusia yang dalam literatur sering disebut sebagai generasi satu hak asasi manusia.
2)      Generasi kedua
Pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan pengertian konsep dan cangkupan hak asasi manusia. Pada generasi kedua ini lahir Covenant yaitu International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua kovenan tersebut disepakati dalam sidang PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga tidak terjadi keseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3)      Generasi Ketiga
            Kondisi ketidak seimbangan perkembangan menyebabkan timbulnya berbagai kritik-kritik dari banyak kalangan sehingga generasi ketiga yang menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan pembangunan (The Right of Development) istilah ini diberikan oleh komisi keadilan internasional (International Comission of Justice). Generasi ketiga HAM ini merupakan sintesa dari generasi pertama dan kedua.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa pada generasi ketiga HAM ini suatu kemajuan pesat telah dicapai, apalagi jika dari kesemua hak tersebut bisa diwujudkan secara bersama-sama. Tetapi hampir tidak ada Negara yang mungkin bisa obyektif memenuhi tuntutan generasi ketiga tersebut. Masih banyak kesenjaan disaksikan  antara hak-hak tersebut dan lebih dari itu penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi adalah prioritas utama telah pula menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat yang dilanggar. Kesemua ini merupakan kenyataan dunia ketiga yang ditandai oleh kuatnya sektor Negara yang berperan dominan sebagai komando sehingga implementasi HAM generasi ketiga ini dilihat dari atas (Top-down approach).
4)      Generasi Keempat
            Generasi keempat banyak melakukan kritik terhadap peranan Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan pada generasi sebelumnya, yang lebih menekankan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama dan telah terbukti sangat menafikan hak-hak rakyat dan tidak berdasarkan kebutuhan.
Generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara dikawasan Asia pada tahun 1983 melahirkan hak asasi yang disebut Declaration of The basic Duties of Asia People and Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi sebelumnya, tapi belum sepenuhnya mencangkup tuntutan structural HAM. Namun demikian bebearapa masalah dasar hak asasi sudah dirumuskan dengan lebih berpihak kepada perombakan tatanan sosial yang berkeadilan. Deklarasi ini menekankan persoalan-persoalan “Kewajiban Hak Asasi” bukan lagi “Hak Asasi”. Alasan dari gagasan ini adalah bahwa kata kewajiban mengandung pengertian keharusan akan pemenuhan, sementara kata hak baru sebatas perjuangan dari pemenuhan hak.
Pendekatan “Muslim” Terhadap Hak Asasi Manusia
Dalam konsepsi tradisionalis tentang “Hak Asasi Manusia” yang diajukan oleh banyak ahi yang mewakili seluruhnya, Qur’an dijadika basis keadilan yang tak terbantahkan. “Hak Asasi Manusia” harus sesuai dengan tugas, privilise, dan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat Qur’an kepada pemeluknya, perbuatan Nabi Muhammad, dan hukum Syariat. Menurut penafsiran tradisionalis, islam menyingkirkan semua kategori manusia, terutama perempuan, budak, dan non-muslim dari kesetaraan di hadapan hukum meskipun agama itu mengariskan aturan-aturan yang seksama tentang perlindungan yang tidak setara terhadap mereka.3 Tetapi ini tidak berarti bahwa islam, khususnya pada masa awalnya, adalah sistem etika yang tidak adil bahkan dalam pengertian liberal modern sekalipun.
Meskipun dulu memperbolehkan perbudakan, Islam pada awalnya memerintahkan perlakuan yang penuh kasih sayang terhadap budak dan mengangankan masyarakat masa depan yang menghapuskan perbudakan. Budak-budak dalam masyarakat Islam mempunyai kesempatan besar untuk mengalami manumission (kebebasan) daripada budak-budak di Negara-negara kapitalis Barat dan anak-anak hasil perkawinan bebas dengan budak bisa menjadi bebas.4 Islam secara khusus juga melarang rasisme, menyatakan “Allah berfirman bahwa orang kulit berwarna tidak lebih tinggi statusnya daripada orang kulit putih, begitu pula sebaliknya. Orang Arab tidak lebih tinggi statusnya daripada orang bukan Arab, yang membedakan manusia hanyalah ketakwaannya”.5 perempuan muslim mempunyai mempunyai sejumlah hak hukum yang tidak sama. Kenyataannya, mereka mempunyai hak hukum yang lebih besar (setengah kali dari hak waris laki-laki yang berkedudukan setara dalam garis keturunan yang sama) daripada perempuan di dunia Kristen sampai ke abad Sembilan belas. Islam juga memerintahkan manusia untuk mengasihi dan beramal kepada orang miskin : bersedekah adalah perbuatan suci dan Negara wajib menyisihkan sebagian barang rampasan perang untuk keperluan “orang miskin, anak yatim, dan musafir”.6
Bahkan dalam undang-undang pidana, hukum syariat sampai saat belakangan ini masih lebih berperikemanusiaan dibandingkan undang-undang di masyarakat Barat. Hukuman Hudud (seperti pemotongan tangan untuk pelaku pencuri dan hukuman rajam untuk pelaku zina), yang sekarang dipraktekkan disejumlah kecil Negara islam, termasuk Sudan dan Arab Saudi, tampak biadab menurut pandangan Barat. Tetapi belum lama ini undang-undang Eropa tampak biadab dimata kaum Muslim. Di inggris antara tahun 1660 dan 1819, “187 statuta kapital baru menjadi undang-undang” : ini merupakan tanggapan terhadap urbanisasi dan terciptanya masyarakat proletariat masa.7 di bawah islam, tindakan pembunuhan yang bisa dijatuhi hukuman mati bahkan bisa diubah kalau keluarga korban memaafkannya (tetapi keluarga juga bisa menuntut ganti rugi “mata dengan mata”).8
HAM dalam Tinjauan Islam
            Islam adalah agama yang universal dan komprehensif yang melingkupi beberapa konsep. Konsep yang dimaksud yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat yang masing-masing memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah dan muamalat, di samping mengandung ajaran keimanan, juga mencakup dimensi ajaran agama Islam yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syariat atau fiqih. Selanjutnya, di dalam Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang Hak. Pertama, Hak Manusia atau huquq al-insān al-dharuriyyah. Kedua, Hak Allah atau huquq Allah. Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan. Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM menurut perspektif Barat.
            Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah egalitarianisme, demokrasi, persamaan hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan dan keragaman dalam arti yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan terhadap sunnatullah itu. Dalam al-Qur'an Allah menegaskan, yang artinya:
"dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"  QS, Yunus : 99.
            Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat tekanan sentral yang lebih memperjelas ayat ini dengan mengatakan, "hendak kau paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukannya terhadap mereka?"
            Penegasan Jalalain dapat mempertegas bahwa usaha untuk menyamakan semua perbedaan semua umat manusia adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM. Ini juga menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia didorong untuk saling menolong dan bekerjasama. Karena itu, sikap menghargai atas perbedaan di antara manusia adalah sikap primordial yang tumbuh secara organik sejak Islam diserukan kepada umat manusia 1500 tahun yang lalu.
            Islam menyadari bahwa mengakui perbedaan adalah sikap paling realistis. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah: 272 "Bukan tugasmu (hai Rasul) memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapapun yang kekehendaki-Nya". Ayat-ayat ini adalah prinsip HAM dalam beragama dan dalam menghormati perbedaan. Namun demikian, ayat ini menganjurkan agar setiap orang yang beriman harus tetap teguh tanpa harus terpengaruh oleh ajaran yang lain.
            Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang bersifat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah kritik Islam atas ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang diperjuangkan oleh HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan "kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja", QS, 59:7. Juga aturan zakat dalam QS 9:60 memperkuat bagaimana Islam peduli pada orang-orang tertindas yang perlu ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya. Melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah perbuatan melanggar agama dan HAM.
            Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek. Unit keluarga adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia mulai ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan lain-lain. Karena itu, peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an di atas mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik dalam tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
            Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan oleh oknum umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam. Penegasan ini perlu, karena semua  pelanggaran HAM dalam bentuk pemerintahan otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi, dan lain-lain), dalam bentuk terorisme, dan dalam bentuk penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada umat Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap agama manapun. Terorisme bukan ajaran agama karena ia bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sunnatullah.
            Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah dilakukan oleh setiap agama. Namun, akan lebih bijak kalau pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan karena ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-oknum umat beragama yang salah menginterpretasikan ajaran agamanya. Di sini perlu adanya upaya-upaya kerja sama di antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran HAM.
            Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ajaran Islam, ia justru menawarkan konsep kerja sama berdasarkan keadilan, saling menghormati, dan persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan, yang manusia sendiri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam QS, 16:125, "Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk".  Prinsip ini mempertegas bahwa dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan engkau hiraukan keyakinannya selama ia tidak memusuhi dan melakukan penyerangan. Dengan kata lain, keyakinan yang berbeda jangan menghalangi kerja sama dan saling menghormati di antara manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi jalan umat Islam untuk menjadi pelopor dalam toleransi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Umat Islam semestinya tidak gamang berbicara soal HAM, karena prinsip-prinsipnya telah diajarkan dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu. Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat Islam justru menandai kemunduran perspektif Islam dan membiarkan prinsip ini tidak aplikatif.
            Penggalian prinsip-prinsip HAM dari Syari'ah memang sudah mulai dilakukan oleh sejumlah ulama. Hasilnya adalah munculnya karya-karya tentang HAM. Bahkan dengan pengayaan baru bahwa Hak Asasi Manusia harus satu paket dengan Kewajiban Asasi Manusia. Konsep Syari'ah tentang HAM dan seluk-beluknya masih terus dapat digali. Bahkan bisa ditambahkan ke dalam muatan HAM yang sudah ada. Pengembangan nilai-nilai HAM dengan pengayaan prinsip-prinsip Syari'ah dapat menjadi pilihan masa depan yang selanjutnya membentuk semacam "Teologi Toleransi", "Teologi HAM", atau "Teologi Kerukunan Beragama".
            Selanjutnya "Teologi HAM" dapat dirumuskan melalui kajian tafsir tematik (maudhu'iy), yakni mengklasifikasikan ayat-ayat yang memuat tema HAM kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep-konsep utama tentang "Teologi HAM". Langkah semacam ini bisa diambil dari lompatan sejarah Islam tentang HAM sebagaimana tertulis dalam Piagam Madinah (al-Dustur al-Madinah) dan Cairo Declaration.
            Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah.
            Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama tersebut sampai menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah, yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.
            Dalam Piagam Madinah paling tidak ada dua ajaran pokok yaitu : semua pemeluk Islam adlah satu umat walu mereka berbeda suku  bangsa dan hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan :
1.      Interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam maupun non Muslim.
2.      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
3.      Membela mereka yang teraniaya.
4.      Saling menasihati.
5.      Menghormati kebebasan beragama.
Satu dasar itu yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah.
1.      Selain deklarasi Madinah juga terdapat deklarasi Cairo yang memuat ketentuan HAM yakni Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan Al-Mumahanah : 8).
2.      Hak Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al - Isra : 33).
3.      Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17, At-Taubah : 6).
4.      Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6).
5.      Hak Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6).
6.      Hak Keseteraan Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13).
7.      Hak Anak dari Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24).
8.      Hak Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5).
9.      Hak Kebebasan Beragama (QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29).
10.  Hak Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9).
11.  Hak Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Malk : 15).
12.  Hak Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran : 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29).
13.  Hak Taharan (QS. Al-Mumtaharah : 8).
Ayat-ayat di atas yang secara tematik dapat menjadi konsep-konsep utama al-Qur'an tentang HAM dapat diperluas lagi.
            Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun deklarasi Cairo, betapa besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak Islam ada sehingga Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku, budaya, strata sosial dan sebagainya.
Berbagai Kasus HAM Sepanjang 2011 di Indonesia
Indonesia's NGO Coalition for Internasional Human Right Advocacy (HRWG) mencatat, sepanjang 2011, banyak sekali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan dunia selama ini yang melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dimana Islam bisa berdampingan dengan demokrasi dan HAM. Dalam prakteknya di lapangan, ternyata 2011 penuh dengan berbagai macam pelanggaran HAM.
Hal itu ditegaskan oleh Direktur Eksekutif HRWG Refendi Djamin dalam pertemuan "Catatan Setahun Politik Luar Negari HAM Pemerintah Indonesia dan Outlook 2012", di Menteng, Jakarta, Sabtu (4/2). Dalam catatannya, terungkap sejumlah kasus pelanggaran HAM, seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat negara sebagai implikasi dari keterlibatan negara dalam bisnis segelintir pihak swasta. Selain itu, kelompok minoritas semakin berada pada posisi yang terdiskriminasi dan tersingkirkan. Sedangkan di sisi lain, tidak ada tindakan kongkret pemerintah untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa sepajang 2011 hampir setiap bulan terjadi kekerasan dan penyerangan kepada kelompok-kelompok minoritas agama dan keyakinan oleh kelompok-kelompok yang tingkat toleransinya rendah. Bahkan oleh aparat negara, hak-hak mereka yang minoritas terabaikan. Belum lagi, menurut HRWG, banyak kasus pelanggaran HAM lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, baik itu pelanggaran masa lalu atau pelanggaran lain yang terjadi pasca-reformasi.
CATATAN:
1.      Dokumen ini bisa diperoleh dengan mudah dalam banyak sumber, misalnya : Center for The Study of Human Rights, Twenty Four Human Right Documents (New York: Columbia University, 1992), hal 6-30.
2.      Abdullahi Ahmed An Na'im, Toward and Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990), hal 162-163.
3.      Ibid.
4.      Patterson, Slavery and Social Death, hal. 227-228.
5.      Dikutip dalam Ishaque, "Human Rights in Islamic Law," hal. 31.
6.      Khadduri, Human Rights in Islam, Hal. 78.
7.      Robert Hughes, The Fatal Shore : The Epic of Australia's Founding (New York: Alfred A Knopf, 1987), hal 29.
8.      An Na'im, Toward and Islamic Reformation, hal. 105.




Daftar Pustaka
Howard, Rhoda E. 2000. HAM Penjelajah Dalih Relativisme Budaya. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Puslit IAIN Syarif Hidyatulloh Jakarta. 2000. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press
Tim ICCE UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta
Http://www.angelfire.com/id/sidikfound/ham.html
Http://www.annabacenter.com/main/kajian/detail.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar