Oleh: Prabowo Putro
Abstract
Human right (HAM) are proprietary
rights human because they are human. Each man have rights basic and not an even
may belie its human right no decision sentences that fair. According to islam,
the difference among one individual with other individual is not because rights
it as human as, but gone upon by faith and fear. Mark sense that constitute herculean
basic and can't be disowned have given contribution on formative human right
principle in international society.
Key Word : Human, Individual,
Faith And Fear, Contribution
Pendahuluan
Hak asasi
manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Setiap
manusia mempunyai hak asasi dan tidak seorang pun boleh diingkari hak asasi manusianya
tanpa keputusan hukum yang adil. Hanya dalam keadaan yang terbatas dan tertentu
saja (seperti diduga kuat melakukan kejahatan atau adanya keharusan Negara
dalam keadaan perang) seseorang bisa dicabut hak asasinya. Konsepsi hak asasi
manusia membuat perbedaan stastus, seperti ras, gender, dan agama tidak
relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan
yang sama tanpa memandang apakah orang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap
komunitasnya.
Masyarakat yang
berdasarkan hak asasi manusia memberikan kesempatan keanggotaan sosial, yang
mustahil dalam komunitas-komunitas
terikat status yang menolak hak asasi manusia. Hak asasi manusia tidak
mensyaratkan direduksinya semua anggota
kelompok sosial tertentu menjadi individu-individu yang teratomisasi.
Identifikasi kelompok adalah bagian yang teramat sangat penting dari karakter
psikologis manusia. Kegiatan-kegiatan ritual, dukungan sosial, dan perasaan
menjadi bagian yang diberikan oleh kelompok etnis-agama kepada
anggota-anggotanya adalah imbangan penting bagi anomi sosial yang sekarang
terjadi di masyarakat-masyarakat Barat atau yang
diibaratkan. Tapi ketika kohesi kelompok didasarkan pada
sistem internal kategorisasi dan degradasi yang kejam, keanggotaan sosial dan
hak asasi manusia menjadi tidak sesuai. Suatu budaya dan komunitas yang yang
didasarkan pada degradasi sistematis harus ditentang; kalau hak-hak individu
mengancam masyarakat seperti itu, maka demikian pula yang terjadi di masyarakat
yang lebih baik. Hak asasi manusia kadang-kadang memerlukan pemutusan budaya.
Tetapi hak
asasi manusia bisa dimasukkan kedalam suatu kesatuan kolektif tanpa
menghancurkan kelompok yang bersangkutan. Misalnya, kaum feminis beragam Yahudi
dan Katolik Roma yang memperjuangkan kesetaraan laki-laki di dalam agamanya
masing-masing melakukannya dengan sedemikian tepat karena mereka menghargai
keanggotaan kelompok mereka. Kalau tidak
demikian, mereka dengan mudah bisa saja meninggalkan sinagoga atau
gereja dengan mudah, beralih agama yang lebih egaliter, atau menjadi atheis.
Bagi para feminis ini, tidak hanya identitas sosial mereka, jalin-menjalin dengan
komunitas ibadah. Memberikan kesetaraan kepada kaum perempuan berarti megubah
banyak adat dalam suatu kelompok, tetapi bukan berarti kelompok yang
bersangkutan akan hancur. Cabang-cabang tertentu Yudaisme sekarang memberikan
hak yang setara kepada kaum perempuan, demikian pula cabang-cabang tertentu
Kristen Protestan; faktanya, perempuan yang berpartisipasi aktif dalam
cabang-cabang komunitas agama mereka memberikan sumbangan bagi vitalitas agama
yang besangkutan dam masyarakat sekuler yang berisi kekuatan-kekuatan sosial
yang menggerogoti agama.
Standar hak
asasi manusia internasional telah ditetapkan sejak tahun 1948 dalam Deklarasi
Semesta Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Universal Declaration of Human
Right) yang dikodifikasikan pada tahun 1966 dalam Kesepakatan Internasional
Hak Sipil dan Politik (Internatioanal Covenant on Civil and Political Right)
serta Kesepakatan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Internasional
Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Right).1
Hak asasi
manusia dalam kesepakatan 1966 dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu : hak
sipil dan politik di satu sisi dan hak ekonomi, sosial, dan budaya di sisi
lain. Hak sipil dan politik mencangkup
semua hak yang melindungi individu terhadap pelanggaran keamanan fisik dan eksekusi sewenang-wenang,
penyiksaan, dan perlakuan atau hukuma yang kejam, merendahkan atau tidak
manusiawi. Hak sipil dan politik juga melindungi warga Negara terhadap
penganiayaan oleh pejabat Negara melalui pengakuan di depan hukum, prasangka
tak bersalah, jaminan pengadilan terbuka yang adil dan tidak memihak, pelanggaran undang-undang
yang berlaku surut kebelakang, dan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan
secara sewenang-wenang atau pembuangan ke luar negeri. Hak atas kewarganegaraan
dan memiliki rumah di suatu Negara juga dilindungi atas kebangsaan, kebebasan
bergerak, dan memilih tempat tinggal.
Pembahasan
Konsepsi yang
tertuliskan dalam deklarasi semesta mencerminkan pemikiran modern mengenai
hakikat keadilan. Hak asasi manusia telah dipisahkan dari kaitan aslinya dengan
hak “alamiah” yang diberikan oleh Tuhan.
Gagasan bahwa
hak asasi manusia dianugerahkan oleh Tuhan masih menarik bagi banyak pengikut
agama, dan sebagian penyeru hak asasi manusia masih tetap berusaha untuk lebih
mendasarkan keyakinannya pada agama dibandingkan pada pandangan sekuler.
Pendekatan ini dianut oleh seorang Muslim ahli hukum, Abdullahi Ahmed
An-Nai’im, yang berupaya mempertemukan norma-norma hak asasi manusia dengan
asas-asas islam. An-Na’im berpendapat bahwa semua tradisi budaya-keagamaan,
termasuk islam, menganut prinsip Aturan Emas (Golden Rule), yakni
“sebuah prinsip yang mengatakkan bahwa siapapun harus memperlakukan orang lain
seperti dia mengharapkan orang lain memperlakukan dirinya.” Semua agama bisa
menggunakan asas ini untuk menggalakan hak asasi manusia universal.2
An-Na’im juga
mengemukakan bahwa semua tradisi agama melindungi esensi konsensus dunia
tentang hak asasi manusia. Saya tidak setuju pendapat ini. Hak asasi manusia
adalah masalah sekuler : hak ini berasal dari pemikiran manusia tetntang
hakikat keadilan, bukan dari keputusan illahi. Meskipun hak asasi manusia
adalah prakteknya akan lebih terjamin jika didasarkan pada keyakinan agama,
dasar keagamaan itu tidak mutlak. Hak asasi manusia tidak lebih dari deklarasi
umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya. Hak asasi manusia bersifat
universal dalam arti harus universal, tanpa memandang apakah agama-agama besar
menerimanya sebagai prinsip. Prinsip-prinsip hak asasi manusia bukan didasarkan
pada agama, melainkan pada masyarakat sekuler tentang hak yang diperlukan semua
orang untuk bermartabat.
Perkembangan
pemikiran HAM dalam 4 generasi
Pemikiran HAM
terus berlangsung dalam rangka mencari rumusan HAM yang sesuai konteks ruang
dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi menjadi 4
generasi.
1)
Generasi
Pertama
Berpendapat
bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Disebabkan
karena dampak dan situasi perang dunia ke II, totaliterisme dan adanya
keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu yang tertib
hukum yang baru. Akan tetapi seperangkat hukum yang disepakati tersebut sebagai
syarat hak-hak yuridis seperti, hak untuk hidup, untuk tidak menjadi budak,
tidak disiksa dan ditahan, hak-hak kesamaan dalam hukum, hak akan fair trial,
praduga tak bersalah dan sebagainya. Hal itu bukan berarti hak-hak lain tidak
diatur karena sesungguhnya seperangkat hukum itu juga memuat akan hak
nasionalitas, pemilikan, pemikiran agama, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan
budaya. Namun demikian sukar untuk menghindarkan kesan bahwa hukum itu dikuasai
oleh hak-hak hukum. Kesan ini semakin tak terbantahkan jika kita meihat kovenan
yang dilahirkan kembali seperti “Convention on Prevention and Punishment Of
The Crime of Genocide”.
Nampaknya
pandangan ini sebagai reaksi keras terhadap kehidupan kenegaraan yang totaliter
dan fasis yang mewarnai tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke II. Karena itu
pemikiran begitu menonjol ke permukaan dan sekaligus menjadi karakteristik
konsep dasar hak asasi menusia yang dalam literatur sering disebut sebagai
generasi satu hak asasi manusia.
2)
Generasi kedua
Pemikiran HAM
tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan perluasan
pengertian konsep dan cangkupan hak asasi manusia. Pada generasi kedua ini
lahir Covenant yaitu International Covenant on Economic, Sosial, and
Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights.
Kedua kovenan tersebut disepakati dalam sidang PBB 1966. Pada masa generasi
kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga tidak terjadi
keseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3)
Generasi Ketiga
Kondisi ketidak seimbangan
perkembangan menyebabkan timbulnya berbagai kritik-kritik dari banyak kalangan
sehingga generasi ketiga yang menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi,
sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan
pembangunan (The Right of Development) istilah ini diberikan oleh komisi
keadilan internasional (International Comission of Justice). Generasi
ketiga HAM ini merupakan sintesa dari generasi pertama dan kedua.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada
generasi ketiga HAM ini suatu kemajuan pesat telah dicapai, apalagi jika dari
kesemua hak tersebut bisa diwujudkan secara bersama-sama. Tetapi hampir tidak
ada Negara yang mungkin bisa obyektif memenuhi tuntutan generasi ketiga
tersebut. Masih banyak kesenjaan disaksikan
antara hak-hak tersebut dan lebih dari itu penekanan terhadap hak
ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi adalah prioritas utama telah pula
menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat yang dilanggar. Kesemua
ini merupakan kenyataan dunia ketiga yang ditandai oleh kuatnya sektor Negara
yang berperan dominan sebagai komando sehingga implementasi HAM generasi ketiga
ini dilihat dari atas (Top-down approach).
4)
Generasi
Keempat
Generasi keempat banyak melakukan
kritik terhadap peranan Negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan
pada generasi sebelumnya, yang lebih menekankan pembangunan ekonomi sebagai
prioritas utama dan telah terbukti sangat menafikan hak-hak rakyat dan tidak berdasarkan
kebutuhan.
Generasi
keempat dipelopori oleh Negara-negara dikawasan Asia pada tahun 1983 melahirkan
hak asasi yang disebut Declaration of The basic Duties of Asia People and
Government. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi sebelumnya, tapi
belum sepenuhnya mencangkup tuntutan structural HAM. Namun demikian bebearapa
masalah dasar hak asasi sudah dirumuskan dengan lebih berpihak kepada
perombakan tatanan sosial yang berkeadilan. Deklarasi ini menekankan
persoalan-persoalan “Kewajiban Hak Asasi” bukan lagi “Hak Asasi”. Alasan dari
gagasan ini adalah bahwa kata kewajiban mengandung pengertian keharusan akan
pemenuhan, sementara kata hak baru sebatas perjuangan dari pemenuhan hak.
Pendekatan
“Muslim” Terhadap Hak Asasi Manusia
Dalam konsepsi tradisionalis
tentang “Hak Asasi Manusia” yang diajukan oleh banyak ahi yang mewakili
seluruhnya, Qur’an dijadika basis keadilan yang tak terbantahkan. “Hak Asasi
Manusia” harus sesuai dengan tugas, privilise, dan kewajiban yang diperintahkan
oleh ayat-ayat Qur’an kepada pemeluknya, perbuatan Nabi Muhammad, dan hukum
Syariat. Menurut penafsiran tradisionalis, islam menyingkirkan semua kategori
manusia, terutama perempuan, budak, dan non-muslim dari kesetaraan di hadapan
hukum meskipun agama itu mengariskan aturan-aturan yang seksama tentang
perlindungan yang tidak setara terhadap mereka.3 Tetapi ini tidak
berarti bahwa islam, khususnya pada masa awalnya, adalah sistem etika yang
tidak adil bahkan dalam pengertian liberal modern sekalipun.
Meskipun dulu
memperbolehkan perbudakan, Islam pada awalnya memerintahkan perlakuan yang
penuh kasih sayang terhadap budak dan mengangankan masyarakat masa depan yang
menghapuskan perbudakan. Budak-budak dalam masyarakat Islam mempunyai
kesempatan besar untuk mengalami manumission (kebebasan) daripada
budak-budak di Negara-negara kapitalis Barat dan anak-anak hasil perkawinan
bebas dengan budak bisa menjadi bebas.4 Islam secara khusus juga
melarang rasisme, menyatakan “Allah berfirman bahwa orang kulit berwarna tidak
lebih tinggi statusnya daripada orang kulit putih, begitu pula sebaliknya.
Orang Arab tidak lebih tinggi statusnya daripada orang bukan Arab, yang
membedakan manusia hanyalah ketakwaannya”.5 perempuan muslim
mempunyai mempunyai sejumlah hak hukum yang tidak sama. Kenyataannya, mereka
mempunyai hak hukum yang lebih besar (setengah kali dari hak waris laki-laki
yang berkedudukan setara dalam garis keturunan yang sama) daripada perempuan di
dunia Kristen sampai ke abad Sembilan belas. Islam juga memerintahkan manusia untuk
mengasihi dan beramal kepada orang miskin : bersedekah adalah perbuatan suci
dan Negara wajib menyisihkan sebagian barang rampasan perang untuk keperluan
“orang miskin, anak yatim, dan musafir”.6
Bahkan dalam
undang-undang pidana, hukum syariat sampai saat belakangan ini masih lebih
berperikemanusiaan dibandingkan undang-undang di masyarakat Barat. Hukuman Hudud
(seperti pemotongan tangan untuk pelaku pencuri dan hukuman rajam untuk
pelaku zina), yang sekarang dipraktekkan disejumlah kecil Negara islam,
termasuk Sudan dan Arab Saudi, tampak biadab menurut pandangan Barat. Tetapi
belum lama ini undang-undang Eropa tampak biadab dimata kaum Muslim. Di inggris
antara tahun 1660 dan 1819, “187 statuta kapital baru menjadi undang-undang” :
ini merupakan tanggapan terhadap urbanisasi dan terciptanya masyarakat
proletariat masa.7 di bawah islam, tindakan pembunuhan yang bisa
dijatuhi hukuman mati bahkan bisa diubah kalau keluarga korban memaafkannya
(tetapi keluarga juga bisa menuntut ganti rugi “mata dengan mata”).8
HAM dalam
Tinjauan Islam
Islam adalah agama yang universal dan komprehensif yang melingkupi beberapa
konsep. Konsep yang dimaksud yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat yang
masing-masing memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah dan muamalat, di samping
mengandung ajaran keimanan, juga mencakup dimensi ajaran agama Islam yang
dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syariat atau fiqih. Selanjutnya, di
dalam Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang Hak. Pertama, Hak Manusia atau huquq al-insān al-dharuriyyah. Kedua, Hak Allah atau huquq Allah. Kedua jenis hak tersebut tidak bisa
dipisahkan. Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan
HAM menurut perspektif Barat.
Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah egalitarianisme, demokrasi, persamaan
hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu
mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan dan keragaman dalam
arti yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak
Allah karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu
agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan
terhadap sunnatullah itu. Dalam al-Qur'an Allah menegaskan, yang
artinya:
"dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" QS, Yunus : 99.
Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat tekanan sentral yang lebih memperjelas
ayat ini dengan mengatakan, "hendak kau paksa jugakah orang untuk
melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukannya terhadap
mereka?"
Penegasan Jalalain dapat mempertegas bahwa usaha untuk menyamakan semua
perbedaan semua umat manusia adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM. Ini juga
menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia didorong untuk saling menolong dan
bekerjasama. Karena itu, sikap menghargai atas perbedaan di antara manusia
adalah sikap primordial yang tumbuh secara organik sejak Islam diserukan kepada
umat manusia 1500 tahun yang lalu.
Islam menyadari bahwa mengakui perbedaan adalah sikap paling realistis. Hal ini
ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah: 272 "Bukan tugasmu (hai
Rasul) memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi Allahlah yang memberi petunjuk
kepada siapapun yang kekehendaki-Nya". Ayat-ayat ini adalah prinsip HAM
dalam beragama dan dalam menghormati perbedaan. Namun demikian, ayat ini
menganjurkan agar setiap orang yang beriman harus tetap teguh tanpa harus
terpengaruh oleh ajaran yang lain.
Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang bersifat menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia adalah kritik Islam atas ketidakadilan,
ketimpangan sosial, dan diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang
diperjuangkan oleh HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan
kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan "kekayaan tidak
boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja", QS, 59:7. Juga aturan
zakat dalam QS 9:60 memperkuat bagaimana Islam peduli pada orang-orang
tertindas yang perlu ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya.
Melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah
perbuatan melanggar agama dan HAM.
Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin menguatkan unit
kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan
kakek-nenek. Unit keluarga adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia
mulai ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti
diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan lain-lain. Karena
itu, peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan
dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an
di atas mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik
dalam tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi,
sosial, maupun politik.
Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum
adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam
sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam sebagai
cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan
kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang
menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini
dilakukan oleh oknum umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam.
Penegasan ini perlu, karena semua pelanggaran HAM dalam bentuk
pemerintahan otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi, dan lain-lain), dalam
bentuk terorisme, dan dalam bentuk penindasan kaum wanita selalu dialamatkan
kepada umat Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap agama
manapun. Terorisme bukan ajaran agama karena ia bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan sunnatullah.
Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah dilakukan oleh setiap agama.
Namun, akan lebih bijak kalau pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan
karena ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-oknum umat
beragama yang salah menginterpretasikan ajaran agamanya. Di sini perlu adanya
upaya-upaya kerja sama di antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya
sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran HAM.
Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan, kekejaman, dan
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ajaran Islam, ia justru
menawarkan konsep kerja sama berdasarkan keadilan, saling menghormati, dan
persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan, yang manusia sendiri
tidak memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam QS, 16:125,
"Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui
daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang
mendapat petunjuk". Prinsip
ini mempertegas bahwa dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan engkau
hiraukan keyakinannya selama ia tidak memusuhi dan melakukan penyerangan.
Dengan kata lain, keyakinan yang berbeda jangan menghalangi kerja sama dan
saling menghormati di antara manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi jalan umat
Islam untuk menjadi pelopor dalam toleransi dan penegakan hak-hak asasi
manusia. Umat Islam semestinya tidak gamang berbicara soal HAM, karena
prinsip-prinsipnya telah diajarkan dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu.
Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat Islam justru menandai kemunduran
perspektif Islam dan membiarkan prinsip ini tidak aplikatif.
Penggalian prinsip-prinsip HAM dari Syari'ah memang sudah mulai dilakukan oleh
sejumlah ulama. Hasilnya adalah munculnya karya-karya tentang HAM. Bahkan
dengan pengayaan baru bahwa Hak Asasi Manusia harus satu paket dengan Kewajiban
Asasi Manusia. Konsep Syari'ah tentang HAM dan seluk-beluknya masih terus dapat
digali. Bahkan bisa ditambahkan ke dalam muatan HAM yang sudah ada. Pengembangan
nilai-nilai HAM dengan pengayaan prinsip-prinsip Syari'ah dapat menjadi pilihan
masa depan yang selanjutnya membentuk semacam "Teologi Toleransi",
"Teologi HAM", atau "Teologi Kerukunan Beragama".
Selanjutnya "Teologi HAM" dapat dirumuskan melalui kajian tafsir
tematik (maudhu'iy), yakni mengklasifikasikan ayat-ayat yang
memuat tema HAM kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep-konsep utama tentang
"Teologi HAM". Langkah semacam ini bisa diambil dari lompatan sejarah
Islam tentang HAM sebagaimana tertulis dalam Piagam Madinah (al-Dustur al-Madinah) dan Cairo Declaration.
Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama
didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan,
serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah.
Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan,
serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama tersebut
sampai menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka
berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah, yang menyatakan bahwa kehidupan
Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman
itu.
Dalam Piagam Madinah paling tidak ada dua ajaran pokok yaitu : semua pemeluk
Islam adlah satu umat walu mereka berbeda suku
bangsa dan hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan
:
1. Interaksi
secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam maupun non Muslim.
2. Saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama.
3. Membela
mereka yang teraniaya.
4. Saling
menasihati.
5. Menghormati
kebebasan beragama.
Satu
dasar itu yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi
kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah.
1. Selain
deklarasi Madinah juga terdapat deklarasi Cairo yang memuat ketentuan HAM yakni
Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan
Al-Mumahanah : 8).
2. Hak
Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al - Isra : 33).
3. Hak
Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17, At-Taubah : 6).
4. Hak
Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6).
5. Hak
Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6).
6. Hak
Keseteraan Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13).
7. Hak Anak
dari Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24).
8. Hak
Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5).
9. Hak
Kebebasan Beragama (QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti :
29).
10. Hak
Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9).
11. Hak
Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Malk : 15).
12. Hak
Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran
: 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29).
13. Hak
Taharan (QS. Al-Mumtaharah : 8).
Ayat-ayat di atas yang secara tematik dapat
menjadi konsep-konsep utama al-Qur'an tentang HAM dapat diperluas lagi.
Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun deklarasi Cairo, betapa
besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak Islam ada sehingga
Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku, budaya, strata sosial
dan sebagainya.
Berbagai Kasus
HAM Sepanjang 2011 di Indonesia
Indonesia's NGO
Coalition for Internasional Human Right Advocacy (HRWG)
mencatat, sepanjang 2011, banyak sekali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia.Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan dunia selama ini yang
melihat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dimana
Islam bisa berdampingan dengan demokrasi dan HAM. Dalam prakteknya di lapangan,
ternyata 2011 penuh dengan berbagai macam pelanggaran HAM.
Hal itu
ditegaskan oleh Direktur Eksekutif HRWG Refendi Djamin dalam pertemuan
"Catatan Setahun Politik Luar Negari HAM Pemerintah Indonesia dan Outlook
2012", di Menteng, Jakarta, Sabtu (4/2). Dalam catatannya, terungkap
sejumlah kasus pelanggaran HAM, seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan
aparat negara sebagai implikasi dari keterlibatan negara dalam bisnis
segelintir pihak swasta. Selain itu, kelompok minoritas semakin berada pada
posisi yang terdiskriminasi dan tersingkirkan. Sedangkan di sisi lain, tidak
ada tindakan kongkret pemerintah untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas.
Lebih lanjut
dipaparkan bahwa sepajang 2011 hampir setiap bulan terjadi kekerasan dan
penyerangan kepada kelompok-kelompok minoritas agama dan keyakinan oleh
kelompok-kelompok yang tingkat toleransinya rendah. Bahkan oleh aparat negara,
hak-hak mereka yang minoritas terabaikan. Belum lagi, menurut HRWG, banyak
kasus pelanggaran HAM lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, baik itu
pelanggaran masa lalu atau pelanggaran lain yang terjadi pasca-reformasi.
CATATAN:
1.
Dokumen ini bisa diperoleh dengan
mudah dalam banyak sumber, misalnya : Center for The Study of Human Rights,
Twenty Four Human Right Documents (New York: Columbia University, 1992),
hal 6-30.
2.
Abdullahi Ahmed An Na'im, Toward
and Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990), hal 162-163.
3.
Ibid.
4.
Patterson, Slavery and Social
Death, hal. 227-228.
5.
Dikutip dalam Ishaque, "Human
Rights in Islamic Law," hal. 31.
6.
Khadduri, Human Rights in Islam,
Hal. 78.
7.
Robert Hughes, The Fatal Shore :
The Epic of Australia's Founding (New York: Alfred A Knopf, 1987), hal 29.
8.
An Na'im, Toward and Islamic
Reformation, hal. 105.
Daftar Pustaka
Howard, Rhoda E. 2000. HAM Penjelajah Dalih Relativisme
Budaya. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Puslit IAIN Syarif Hidyatulloh Jakarta. 2000. Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta Press
Tim ICCE UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta
Http://www.angelfire.com/id/sidikfound/ham.html
Http://www.annabacenter.com/main/kajian/detail.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar